Gegara Ucapan Ngawur Ini, Trend Asia Kritik Pernyataan Bahlil Soal Tambang Nikel: Menyesatkan!

- Senin, 09 Juni 2025 | 06:05 WIB
Gegara Ucapan Ngawur Ini, Trend Asia Kritik Pernyataan Bahlil Soal Tambang Nikel: Menyesatkan!




PARADAPOS.COM - Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dinilai keliru bila menganggap biasa penambangan nikel di area Raja Ampat tidak akan berdampak buruk hanya karena jaraknya puluhan kilometer dari lokasi pulau yang jadi tempat wisata.


Juru kampanye Trend Asia, Arko Tarigan, melontarkan kritik kalau narasi Bahlil justru seolah menyederhanakan kompleksitas kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua, yang jadi sasaran penambangan.


"Kalau kata Pak Menteri ESDM Bahlil, itu jauh 30-40 km dari pertambangan, tapi dalam satu konteks, dia tidak bisa mengerucutkan karena jauh jadi tidak kelihatan, tidak berdampak, dan lain sebagainya. Nggak bisa gitu," kata Arko dikutip dari tayangan Live Instagram bersama Koreksi.org, Senin (9/6/2025).


Arko menambahkan, pemerintah seharusnya juga memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang bisa terjadi di pulau kecil itu bila dilakukan penambangan.


Sekalipun lokasinya jauh dari tempat wisata, namun aktivitas penambangan justru merusak sumber daya alam dan merugikan masyarakat yang tinggal di pulau kecil tersebut.


Arko menyebutkan, kondisi itu yang kini telah dialami oleh masyarakat di Pulau Wawonii, Kepulauan Konawe, Sulawesi Tenggara.


Temuan dari Trend Asia, sumber air di pulau Wawonii tercemar sejak adanya aktivitas penambangan nikel dari PT Gemak Kerasi Perdana (GKP), yang merupakan salah satu anak perusahaan dari Harita Grup.


"Pulau itu sudah tercemar, aliran airnya tercemar. Warga menggunakan air yang bercampur lumpur. Belum lagi banyak masalah kasus dan lain sebagainya, belum lagi konteks kriminalisasi yang terjadi ketika warga tidak memberikan tanahnya," tuturnya.


Tidak seperti pulau besar, Arko menjelaskan bahwa pulau kecil umumnya tidak bisa memperbaiki alamnya sendiri secara natural bila sudah rusak. 


Sehingga, ketika lingkungan suatu pulau rusak akibat aktivitas penambangan, tetap ada masyarakat yang menjadi korban.


"Ini bukan hanya soal masalah yang dikerucutkan terkait 30 sampai 40 km, apa dengan kata-kata, oh yaudah, ini satu tempat adalah aktivitas wisatawa dan lain sebagainya, bukan soal itu. Tapi tentang bagaimana orang-orang yang ada di pulau itu menjadi korban dari embel-embel transisi energi yang digaungkan pemerintah," tegasnya.


Ia juga menyoroti sejumlah pulau kecil seperti Pulau Gag, Manuran, Batang, Tele, dan Waego yang berada dalam kawasan Raja Ampat, Papua.


Menurut Arko, seluruh pulau tersebut telah masuk dalam kategori pulau-pulau kecil, sehingga seharusnya dilarang untuk aktivitas pertambangan.


Menurutnya, pemerintah sebenarnya sudah tahu adanya peraturan yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K). 


Namun, izin usaha penambangan (IUP) tetao diberikan kepada pihak perusahaan.


"Salah satu contoh Pulau Gag itu perjanjian kontrak karya, keluar izin pinjam pakai kawasan hutan yang diterbitkan oleh KLHK. Ini berarti konteksnya pemerintah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Sedangkan pemerintah sudah tahu ada regulasi tentang undang-undang perlindungan pulau-pulau kecil, tapi yang memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan itu adalah kementerian," kritiknya.


Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa hingga saat ini sudah ada lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat.


Dua perusahaan yang memperoleh izin dari pemerintah, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.


Sementara, tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat), yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.


Sumber: Suara

Komentar