Satu Dekade Jokowi: Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik

- Senin, 09 Juni 2025 | 09:35 WIB
Satu Dekade Jokowi: Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik


Satu Dekade Jokowi: 'Antara Konsolidasi Kekuasaan dan Warisan Politik'


Setelah dua periode menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi menutup dekade kekuasaannya dengan warisan politik yang tak kalah kontroversial dari keberhasilannya membangun jalan tol. 


Di satu sisi, ia dikenang sebagai pemimpin yang mengubah wajah infrastruktur Indonesia. 


Di sisi lain, muncul banyak pertanyaan tentang konsolidasi kekuasaan, intervensi terhadap lembaga negara, dan strategi pengelolaan elite politik yang meninggalkan jejak dilematis dalam demokrasi kita.


Tulisan ini hendak mengulas lima isu utama yang kerap menjadi bahan perdebatan publik, dengan pendekatan analitis dan bahasa yang tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.


1. Strategi Politik dalam Menjinakkan Elite Partai


Jokowi bukan kader partai tulen. Ia bukan Megawati, bukan Prabowo, bukan Surya Paloh. 


Namun justru karena bukan siapa-siapa dalam peta kekuasaan lama, ia mengembangkan politik adaptif yang terkesan lembut di permukaan, namun efektif dalam menjinakkan tokoh-tokoh partai besar.


Beberapa analis menyebut pendekatan ini sebagai strategi kooptasi elite, di mana tokoh-tokoh partai dirangkul lewat posisi strategis di kabinet, BUMN, hingga penugasan politik tertentu. 


Konsekuensinya, ruang oposisi mengecil, dan koalisi pemerintah tampak seperti orkestra tunggal tanpa disonansi.


Namun efektivitas ini bukan tanpa risiko: pemusatan kekuasaan di tangan presiden melemahkan dinamika sistem checks and balances. 


Satu suara dominan menggema, sementara suara-suara kritis semakin terpinggirkan, bahkan dari internal partai sendiri.


2. Pelemahan KPK dan Transformasi Jadi Alat Politik?


Perubahan UU KPK pada 2019 menandai babak baru yang penuh gejolak. 


Pembentukan Dewan Pengawas, hilangnya independensi penyadapan, hingga pemecatan pegawai lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi simbol perubahan arah lembaga ini.


Banyak pengamat menyebutnya sebagai "pelemahan sistematis" terhadap KPK. 


Kecurigaan pun mencuat: apakah ini bagian dari upaya mengubah KPK dari lembaga independen menjadi instrumen selektif---bukan untuk membasmi korupsi, tetapi untuk mengelola loyalitas politik?


Dalam konteks hukum, ini tentu harus dibuktikan secara objektif. Namun secara politis, publik merasakan getaran perubahan arah. 


Penindakan terhadap tokoh-tokoh tertentu seringkali bertepatan dengan dinamika politik---mendorong dugaan bahwa hukum dijalankan dengan rasa, bukan asas.


3. Mahkamah Konstitusi dan Politik Kekerabatan


Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2023 terkait usia calon presiden dan wakil presiden menjadi momen penting dalam peta politik Indonesia. 


Putusan itu, yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka---putra Presiden Jokowi---untuk maju sebagai calon wakil presiden, memicu perdebatan luas.


Sebagian pihak menyebut ini sebagai bentuk politisasi konstitusi, apalagi dengan keterlibatan Ketua MK saat itu yang memiliki hubungan kekeluargaan langsung dengan presiden. 


Walau Mahkamah Kehormatan MK telah memberi sanksi etik, kerusakan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan konstitusional sudah telanjur terjadi.


Kritikus menyebut ini sebagai gejala "constitutional engineering", di mana hukum bukan lagi pelindung konstitusi, tetapi alat untuk mengakomodasi kepentingan dinasti politik.


4. Toleransi terhadap Korupsi Elite sebagai Kartu Politik?


Salah satu teori lama dalam politik otoritarian adalah menggunakan skandal sebagai kendali. 


Dalam konteks demokrasi, tentu tuduhan seperti ini memerlukan pembuktian yang sangat hati-hati.


Namun dinamika politik menunjukkan bahwa beberapa tokoh partai yang tersangkut dugaan atas beberapa kasus korupsi tetap dipertahankan dalam lingkar kekuasaan, atau bahkan "diselamatkanā€ melalui mekanisme hukum dan politik yang tidak transparan.


Di sisi lain, tokoh yang tak sejalan dengan agenda kekuasaan kerap mengalami ekspos media atau tekanan hukum lebih intensif. 


Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa isu hukum digunakan secara selektif, bukan sebagai wujud supremasi hukum, tetapi sebagai alat tawar-menawar politik.


5. Warisan Kekuasaan dalam Kabinet Presiden Terpilih


Dengan berakhirnya masa jabatan Jokowi, muncul pula pertanyaan besar: apakah ia benar-benar melepaskan kendali, atau justru "menitipkan" kekuasaan dalam tubuh pemerintahan baru?


Isu tentang figur-figur tertentu yang disebut-sebut sebagai "orang Jokowi" dalam kabinet Prabowo mendatang sudah muncul bahkan sebelum pelantikan. 


Mereka diyakini akan mengawal kelanjutan proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara, hilirisasi industri, dan program infrastruktur lainnya.


Secara politik, hal ini bisa dimaklumi sebagai strategi legacy protection. 


Namun secara demokratis, hal ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah transisi kekuasaan sungguh demokratis, atau hanya rotasi antara wajah lama dalam baju baru?


Penutup: Demokrasi atau Hegemoni?


Dalam satu dekade terakhir, Jokowi membuktikan bahwa kekuasaan tidak selalu harus diwarnai konflik terbuka. 


Ia memainkan politik dalam gaya Jawa yang halus namun menancap, diam-diam tapi efektif.


Namun seperti kata Lord Acton:


"Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."


Pertanyaannya kini bukan sekadar apa yang telah dicapai Jokowi secara fisik dan ekonomi, tapi juga: Apa yang telah berubah dalam cara kita memahami demokrasi?


Apakah kita sedang menuju tata kelola negara yang efisien, atau justru tergelincir ke dalam demokrasi prosedural yang dibungkus dengan konsensus elite?


Waktu yang akan menjawab. Tapi seperti yang dikatakan filsuf politik Carl Schmitt:


"Yang menentukan keadaan darurat adalah yang memegang kekuasaan."


Dan selama satu dekade, kekuasaan itu berada di tangan seorang presiden yang sangat memahami seni mengelola keadaan---baik secara formal maupun informal.


Catatan Akhir:


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi pribadi, melainkan sebagai upaya reflektif atas praktik politik dalam sistem demokrasi modern. 


Segala bentuk kritik disampaikan dalam semangat demokrasi yang sehat, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan kehormatan institusi negara. ***

Komentar