OLEH: YUDHIARMA MK*
DI sebuah vila yang berdiri bagai seorang pertapa dalam gua di atas bukit, saat angin berbisik pada daun-daun eukaliptus, tinggallah sepasang suami istri.
Pondok asri itu adalah dunia mereka, dipenuhi buku-buku yang berdebu dan senja yang selalu berwarna merah jingga.
Cinta mereka tak lagi seperti air yang mendidih, tetapi bak sungai yang dalam, mengalir tenang dan penuh makna.
Sang istri, bagai menjangan muda berbadan dua yang mengandung kehidupan. Di rahimnya, sebentar lagi akan lahir seorang putra yang mereka tunggu bagai awal semi di puncak musim salju yang panjang. Setiap malam, mereka mendengar detak jantung kecil bagai irama genderang dari negeri dongeng.
“Dia sedang bercerita.” suara itu berbisik di suatu malam dengan mata berkilau. “Dia bercerita tentang langit dan bintang-bintang.”
Dia tersenyum seraya tangan membelai rambut suami. “Dia akan menjadi pelukis,” katanya. “Atau mungkin seorang pujangga.”
Namun, langit tak selamanya memeluk bumi dengan cerah. Kabar itu datang bukan seperti badai, tetapi seperti kabut tebal yang menyelinap pelan, membekukan segala sukacita.
Seorang tabib bijak dengan sorot mata bagai menembus tujuh lapis langit, telah memandang nasib anak yang belum lahir itu.
Dalam sebuah ruangan yang hening, hanya diisi oleh nyala lilin yang menari-nari, ia membisikkan kebenaran yang pahit.
“Putra yang kau kandung,” ucap sang dukun, suaranya lirih bagai dedaunan yang bergesek di malam hari, “Bukanlah anak biasa.
Di dalam jiwanya terpateri sebuah takdir yang besar dan berat. Kelak, bila ia dewasa, akal pikirannya yang kelam akan membawa kutukan, menghancurkan tatanan yang sudah rapuh, mengobarkan api yang panas membakar.
Ia bukan hanya perusak, tetapi pembongkar. Bukan penghancur, tetapi pelebur jadi debu. Dan dalam kebingungan bangsa ini, ia akan menjadi sumber malapetaka. Kekuasaan yang gemuk dan takut akan gemetar, lalu menggunakan pedangnya. Kutukan akan datang, dan negeri ini akan luluh lantak oleh perbuatannya.”
Pasangan itu terduduk. Dunia berputar kencang. “Tidak ada jalan lain?” tanya mereka dengan suara serak bagai burung gagak yang kehilangan sarang.
Sang tabib menggeleng pelan. “Ini bukan ramalan. Ini adalah kepastian, seperti matahari yang terbit di ufuk timur. Aku hanyalah penyampai. Ini bagai kisah Musa dan Khidir, di mana sebuah kapal harus dilubangi untuk menyelamatkannya dari perampok. Sebuah pengorbanan kecil untuk mencegah kehancuran yang lebih besar. Terkadang, cinta yang paling agung adalah melepaskan.”
Malam itu, dua kekasih yang baru terikat pernikahan, tak bisa tidur. Mereka duduk di beranda, memandang bulan yang pucat tersangkut di dahan-dahan pohon kenari. Diam mereka lebih berbicara daripada segala kata-kata.
“Bagaimana mungkin,” desis sang istri akhirnya, air matanya membasahi bahu suami, “cinta kita yang suci harus berakhir pada sebuah keputusan bagai pedang? Bukankah dia adalah daging dari dagingku, darah dari darahku? Bukankah setiap jiwa berhak untuk bernapas?”
Mereka berpelukan erat, mencoba menahan gempa di jiwa dan di raga. “Kadang,” jawab suami, suaranya bergetar menahan duka, “Seorang ibu tak hanya melahirkan untuk sebuah keluarga, tetapi juga untuk sebuah bangsa. Kadang, seorang ayah tak hanya melindungi anaknya, tetapi juga memilih untuk melindungi ribuan anak lain dari badai yang akan ditabur oleh putranya sendiri. Ini bukan kejahatan. Ini adalah pengorbanan yang terlalu berat untuk dipahami oleh dunia.”
Mereka bagai dua perahu di lautan yang gelap, dihantam gelombang takdir yang kejam. Cinta mereka pada sang janin adalah lautan itu sendiri, dalam dan luas. Namun, di kejauhan, ada mercusuar yang memperingatkan tentang karang penghancuran.
Hari penentuan itu tiba. Di ruangan putih dan sunyi, bagai kain kafan yang membentang, sang istri terbaring, matanya kosong menatap langit-langit. Tangannya menggenggam erat jemari suami, mencari kekuatan di telapak yang juga gemetar dan berkeringat dingin.
Tabib datang dengan wajah yang diselimuti duka yang terpaksa. Ia hanya seorang pelaksana dari skenario besar alam semesta.
Sebelum segalanya dimulai, sang istri terpejam. Dalam gelap, ia berbicara pada anaknya untuk terakhir kali.
“Wahai calon cahaya pandanganku,” bisiknya dalam hati, bagai sebuah doa yang paling puitis dan teramat perih, “Engkau datang dari bintang-bintang, membawa misi yang terlalu besar untuk bahu kami, orang tuamu yang lemah. Kami mencintaimu lebih dari nyawa. Tapi kasih itu harus kami wujudkan dengan melepaskanmu. Agar kau tak menjadi tulah. Agar bangsa ini tak menjadi ladang pembantaian. Pergilah kembali dengan tenang. Kami akan menunggumu di ujung waktu, di mana takdir bukan lagi sebuah kutukan.”
Rimbun tangis tumpah dari sudut matanya, mengalir seperti sungai kesedihan yang abadi.
Dan segalanya pun berakhir.
Mereka pulang ke rumah yang sunyi. Sepi yang tak berbunyi. Meski senja masih merah jingga bak apel ranum, tetapi terasa sangat pahit. Angin masih berbisik pada eukaliptus, tetapi seperti menyanyikan kidung lara.
Sang suami memandang istri yang terdiam, bagai patung yang kehilangan ruhnya. Ia tahu, rahim kekasih kini kosong, tetapi jiwa mereka penuh dengan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.
Mereka telah melubangi kapal sendiri: mengambil nyawa calon buah hati untuk menyelamatkan sebuah bangsa dari prahara yang hanya diketahui oleh takdir. Itu bukanlah dosa, tetapi sebuah tragedi. Bukan kejahatan, tetapi pengorbanan yang hanya layak dicatat oleh para malaikat dengan tinta emas dan air mata.
Dan di atas bukit, di mana angin selalu berhembus dengan bebas, mereka duduk berpelukan: menangis dan menangis untuk anak yang tak akan pernah lagi melihat senja, untuk cinta yang harus dikubur demi sebuah tanggung jawab yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Mereka adalah Musa dan Khidir di zaman yang kelam, memilih untuk dilaknat sebagai orang tua yang kejam demi dicintai sebagai warga negara yang bijak.
Dan dalam kesunyian itu, mereka mendengar sebuah bisikan, mungkin dari angin atau dari langit, “Yang terpaksa kalian lakukan hari ini, adalah cinta yang paling menyakitkan dan paling suci.”
Sepasang kekasih ini makin terhempas dalam tangis tak berujung seraya berkata, "Wahai putra kami Noel. Demi kemaslahatan bangsa, lebih baik kau tak pernah dilahirkan."
(Penulis adalah wartawan senior)
Artikel Terkait
Bau Busuk Praktik Oligarki Merebak di PSN Pelabuhan Patimban
Link Video Jubir Viral, Adegan Syur Pria China dengan Jubir Tambang Buat Polres Morowali Gerah
Ratusan Ribu Warga Australia Turun ke Jalan Dukung Palestina
Jangan hanya Ditetapkan DPO, Riza Chalid harus Segera Ditangkap