Agama mengajarkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, inklusivitas, kesetaraan, cinta kasih, dan kasih sayang terhadap sesama—melampaui batas-batas perbedaan.
Perbedaan itu pembatas. Untuk melampaui batas-batas itu, maka bangun lah relasi atas dasar cinta dan kemanusiaan, termasuk dalam menjalankan amanah rakyat.
Korupsi di Kementerian Agama, selain menggerus nilai-nilai agama juga memperlihatkan matinya nurani kemanusiaan dan hilangnya kepekaan terhadap antrean panjang calon jamaah haji reguler berpacu dengan usia.
Dulu kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024 pernah dilaporkan oleh masyarakat sipil ke KPK. Pun DPR pernah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 dan menemukan sejumlah dugaan penyimpangan.
Salah satunya terkait 3.500 anggota jamaah haji khusus 0 tahun berangkat haji 2024. Padahal, dalam peraturan, jamaah haji yang mendaftar pada tahun yang sama tidak boleh langsung berangkat (Kompas.id, 15/9/2024).
Namun, laporan itu tak begitu mendapat respons dari KPK dan Pansus Hak Angket Haji tak digubris oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Begitulah kekuasaan jika dirasa dimilikinya. Ia lupa bahwa kekuasaan ada batasnya. Begitu peta kekuasaan berubah, telunjuk sedang mengarah padanya. Ia menghadapi kasus hukum yang dibuatnya sendiri.
Dejavu korupsi pengelolaan haji
Kasus dugaan korupsi kuota haji tidak hanya terjadi era Menag Yaqut Cholil Qoumas. Korupsi pengelolaan haji terjadi sejak lama.
Pada 2006, Said Agil Husin Al Munawar dihukum 5 tahun penjara. Pada 2014, Suryadharma Ali divonis 6 penjara. Mereka dipenjara karena terbukti korupsi dalam pengelolaan haji.
Artinya, ini bukan hanya masalah personal kepemimpinan seseorang. Masalah pada sistem, tata kelola, kelembagaan, dan kultur.
Di sini lah komitmen Presiden Prabowo Subianto diuji untuk memberantas korupsi, tak hanya memburu koruptor sampai ke Antartika, tapi juga memburu koruptor di sekitar Kementerian, yang disebut-sebut namanya menerima aliran dana dugaan hasil korupsi dalam fakta persidangan.
Benar peribahasa Indonesia, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.
Pemberantasan korupsi hanya sekedar gimik—retorika politis, jargon, dan slogan—sementara tuntutan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menguap begitu saja di DPR.
Korupsi, meminjam Jeremy Pope (2000), terjadi karena insentif terhadap koruptor terlalu tinggi. Korupsi lazim terjadi karena pelakunya mendapatkan keuntungan besar dengan risiko rendah.
Mereka dihukum ringan, mendapat fasilitas mewah di penjara, dapat remisi dan lain sebagainya di hari raya atau di hari besar tertentu. Setelah bebas dari penjara, mereka mencalonkan diri jadi wakil rakyat di parlemen atau kepala daerah.
Masyarakat juga permisif terhadap korupsi dan koruptor. Ketika bebas, mereka disambut bak pahlawan dan dipilih lagi dalam pemilu.
Korupsi yang terjadi berulang di Kementerian Agama harus menjadi perhatian serius. Korupsi di Kementerian Agama tidak hanya menggerus nilai-nilai agama, tapi juga merusak kemanusiaan dan kepercayaan publik.
Karena itu, perlu perbaikan secara sistemik tata kelola haji—secara akuntabel dan transparan—perbaikan kelembagaan dan kultur serta pengawasan KPK dan publik dalam pengelolaan haji.
Perlu juga perbaikan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi, penguatan lembaga pemberantasan korupsi, penegakan hukum terhadap korupsi, dan penguatan pendidikan antikorupsi.
Dengan demikian, kita dapat mencegah sekaligus berantas korupsi yang terjadi berulang-ulang di Kementerian Agama.
Sumber: Kompas
Artikel Terkait
Roy Suryo Dicekal ke Luar Negeri, Ini Daftar 8 Tersangka Kasus Ijazah Jokowi
Bonatua Silalahi Gugat UU Pemilu ke MK, Sebut Data Ijazah Jokowi Data Sampah
Jimly Asshiddiqie Kasihan ke Dokter Tifa, Ungkap Alasan Tersangka Dilarang Audiensi
Turis China Meninggal di Bali Diduga Keracunan Pestisida Kutu Busuk, 10 Korban Dirawat