PARADAPOS.COM - Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, yang menghabiskan anggaran Rp 4,3 triliun, awalnya digadang-gadang menjadi pusat penerbangan internasional serta pendorong ekonomi di Jawa Barat.
Namun, alih-alih menjadi kebanggaan, Kertajati justru terjebak dalam ketidakjelasan operasional dan berakhir sebagai “bandara hantu.”
Menurut Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), kegagalan Kertajati bukan hanya akibat pandemi, melainkan kelalaian sistemik—mulai dari buruknya perencanaan, lemahnya pengawasan, hingga eksekusi yang sembrono.
Dampaknya, kerugian negara terus membengkak, perekonomian regional tersendat, dan rakyat Jawa Barat menjadi korban.
Di tengah mandeknya Kertajati, masyarakat kini semakin mendesak pemerintah untuk mengaktifkan kembali Bandara Husein Sastranegara (BHS) di Bandung.
Bandara ini terbukti lebih strategis dan efektif dalam melayani kebutuhan penerbangan domestik maupun internasional.
Lima Dosa Besar Kertajati: Proyek Gagal yang Menelan Triliunan
1. Keterlambatan Infrastruktur & Aksesibilitas Buruk
Kertajati dirancang untuk terhubung dengan Tol Cisumdawu, tetapi proyek ini mengalami keterlambatan parah.
Akibatnya, perjalanan dari Bandung ke Kertajati memakan waktu 3–4 jam, lebih lama dibanding perjalanan ke Soekarno-Hatta via Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Padahal, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 menegaskan bahwa anggaran infrastruktur harus digunakan secara efektif dan efisien.
2. Persaingan Internal yang Tidak Seimbang
Alih-alih memperkuat Kertajati, KCJB justru mempercepat akses ke Halim Perdanakusuma. Sementara itu, maskapai dan penumpang lebih memilih Bandara Husein Sastranegara karena lokasinya lebih strategis.
Menurut UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 65, integrasi transportasi wajib masuk dalam perencanaan daerah—sesuatu yang gagal dilakukan dalam proyek ini.
3. Ekosistem Sekitar Mati Suri
Minimnya hotel, transportasi umum, serta fasilitas komersial di sekitar Kertajati membuat maskapai enggan membuka rute baru. Dampak ekonominya sangat buruk.
Berdasarkan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 17, pejabat yang mengabaikan dampak ekonomi suatu proyek bisa dianggap menyalahgunakan wewenang.
4. Tidak Ada Kajian Pasar yang Matang
Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah menyebut bahwa Kertajati dibangun tanpa kajian pasar yang memadai. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa hanya 12% kapasitas bandara yang terpakai.
Padahal, menurut UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara Pasal 13, audit harus dilakukan terhadap proyek-proyek yang berpotensi merugikan negara.
5. Pandemi Bukan Kambing Hitam
Sebelum pandemi, Kertajati hanya melayani rata-rata 5 penerbangan per hari, jauh dari target yang diharapkan. Ini membuktikan bahwa masalah utama bukan pandemi, melainkan perencanaan yang buruk sejak awal.
Kertajati Membakar Rp 1,55 Triliun per Tahun!
Menurut Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004, kerugian negara didefinisikan sebagai "Kekurangan uang, surat berharga, dan barang akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai."
Artikel Terkait
KPK Digugat Praperadilan Kasus Kuota Haji Yaqut Cholil Qoumas: Fakta & Kerugian Rp1 Triliun
Sepupu Bobby Nasution, Dedy Rangkuti, Berpeluang Jadi Saksi Kunci Sidang Suap Proyek Jalan Sumut
KPK Tunggu Hasil Sidang Kasus Korupsi Proyek Jalan Sumut untuk Usut Bobby Nasution
Rismon Sianipar Dilaporkan Andi Azwan ke Polisi: Tuduhan TPPU hingga Keturunan PKI