TULISAN ini mungkin menjadi penutup dari beberapa artikel yang telah saya buat mengenai polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.
Sebelumnya, saya telah menulis tiga artikel terkait isu ini sebagai bentuk kepedulian dan refleksi terhadap pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi.
Hari ini, Senin 5 Mei 2025, saya menyampaikan penutup reflektif melalui tulisan ini. Tujuannya adalah memberikan gambaran utuh kepada masyarakat tentang akar persoalan, dinamika polemik, aktor-aktor yang terlibat, serta solusi konkret.
Seharusnya penyelesaian masalah ini bisa ditempuh sejak awal. Tidak berlarut-larut tanpa menimbukan polemik berkepanjangan atas dugaan ijazah palsu Jokowi.
Akar masalah dari polemik ini kemungkinan besar berawal dari sikap Jokowi sendiri yang ketika itu tampaknya meremehkan isu dugaan ijazah palsu.
Tuduhan yang datang dari masyarakat mungkin dianggap sebagai suara-suara pinggiran, tidak kredibel, dan boleh jadi dianggap berasal dari orang-orang yang hanya mencari panggung popularitas.
Mungkin Jokowi menilai, sebagai Presiden tidak perlu merespons tuduhan yang menurutnya tidak berdasar dan berasal dari orang-orang yang tidak selevel dengannya.
Sayangnya, mungkin dengan sikap ini justru menjadi pemicu utama kenapa polemik ini tidak pernah reda.
Isu dugaan ijazah palsu Jokowi pertama kali muncul pada 2019, melalui unggahan Umar Kholid Harahap di media sosial.
Umar menuding bahwa ijazah SMA Negeri 6 Solo milik Jokowi adalah palsu. Pihak kepolisian menyatakan bahwa unggahan tersebut adalah hoaks, dan menangkap Umar. Namun isu terkait masalah ini tidak berhenti.
Pada tahun 2022, Bambang Tri Mulyono menggugat Jokowi ke pengadilan dengan tuduhan serupa. Tetapi gugatan itu dicabut setelah Bambang menjadi tersangka ujaran kebencian.
Pada tahun 2024, advokat Eggi Sudjana mencoba langkah hukum serupa, namun ditolak pengadilan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat atau dengan alasan lainnya.
Atas hal ini, Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi, Otto Hasibuan meminta narasi negatif terkait kliennya agar dihentikan oleh semua pihak.
Belum lama ini, muncul pengacara Muhammad Taufiq dari Solo kembali menggugat objek serupa.
Taufiq mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Solo terhadap empat pihak, yakni Jokowi (tergugat 1), KPU Surakarta (tergugat 2), SMAN 6 Surakarta (tergugat 3), dan Universitas Gadjah Mada (tergugat 4).
Gugatan itu dilayangkan karena Taufiq menilai ijazah Jokowi belum pernah ditunjukkan ke publik secara meyakinkan.
Ia menuding KPU lalai dalam memverifikasi ijazah saat Pilkada Solo pertama. SMAN 6 Surakarta baru berdiri tahun 1986 sehingga seharusnya Jokowi tidak bisa bersekolah di sana. Terakhir UGM dinilai keliru dalam mengeluarkan ijazah.
Dalam hal ini, tampaknya perkiraan saya terbukti benar. Boleh jadi, prediksi Jokowi bahwa polemik ini akan mereda dengan sendirinya ternyata keliru. Justru setelah masa jabatannya berakhir pada Oktober 2024, eskalasi isu ini meningkat secara signifikan.
Publik kemudian dikejutkan oleh langkah ahli digital forensic Rismon Hasiholan Sianipar, yang secara detail membedah berbagai kejanggalan dokumen terkait Jokowi.
Rismon mengangkat sejumlah isu teknis, seperti ketidaksesuaian tanda tangan dosen penguji skripsi, penggunaan huruf font Times New Roman yang dinilai tidak lazim pada era 1980-an, serta berbagai aspek administratif lainnya.
UGM sebagai institusi tempat Jokowi menempuh pendidikan tinggi, membantah seluruh tuduhan tersebut.
Pihak kampus menyatakan bahwa semua proses akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik, dan penggunaan font serta format ijazah sesuai kebijakan fakultas pada masa itu.
Namun, meskipun UGM telah beberapa kali memberikan klarifikasi, polemik tidak juga mereda.
Beberapa tokoh, termasuk Roy Suryo, ikut meragukan keaslian foto pada ijazah Jokowi.
Semua ini memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Padahal bisa saja masalah ini selesai secara cepat dan elegan jika saja Jokowi bersedia menunjukkan secara terbuka dokumen akademiknya.
Kecurigaan publik lebih banyak tumbuh bukan karena bukti pemalsuan yang kuat, tetapi karena minimnya transparansi dari pihak yang bersangkutan.
Jokowi seharusnya bisa mengambil langkah sederhana namun strategis dengan menunjukkan langsung ijazah asli yang dipermasalahkan.
Jokowi juga bisa mengajak pihak sekolah, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk secara terbuka menyampaikan dan memverifikasi dokumen akademiknya kepada publik.
Jika langkah itu ditempuh, maka polemik ini akan selesai jauh sebelum Jokowi mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden.
Sebaliknya, Jokowi justru membiarkan isu ini bergulir terus-menerus, yang sepertinya hanya memperkeruh suasana dan membuka celah bagi berkembangnya ketidakpercayaan publik.
Dalam konteks ini, mungkin bukan hanya Jokowi yang patut dikritik. Lembaga-lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga integritas dan kebenaran akademik mungkin juga turut terlibat dalam masalah ini.
Demikian pula lembaga peradilan yang cenderung menolak gugatan tanpa mendorong pembuktian langsung dengan meminta Jokowi menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka.
Di sisi lain, sebagian pengkritik dan penyebar konten di media sosial turut memperkeruh situasi dengan narasi bombastis yang tidak sepenuhnya didasarkan pada verifikasi terhadap dokumen asli.
Tindakan semacam ini memang berpotensi menyulut emosi publik, memperbesar polemik, dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat tanpa menawarkan penyelesaian yang konstruktif.
Namun demikian, mereka juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena pada dasarnya mereka hanya mengisi ruang publik yang kosong akibat absennya klarifikasi resmi yang transparan.
Selain itu, banyak di antara mereka hanya menyusun argumen berdasarkan data dan fakta yang beredar di media sosial, yang telah mereka analisis dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.
Maka, meski pendekatannya bisa diperdebatkan, sikap kritis mereka tetap patut dipahami dalam konteks keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam demokrasi.
Namun, jika harus menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab atas polemik dan pro kontra ini, maka jawabannya mungkin adalah Jokowi sendiri.
Sebagai tokoh publik --terlebih lagi sebagai presiden dua periode -- Jokowi memikul tanggung jawab moral untuk menjernihkan fitnah atau kecurigaan yang muncul terhadap dirinya dengan cara yang elegan dan terbuka.
Meneladani Langkah Obama
Dalam menghadapi masalah tuduhan dugaan ijazah palsu, seharusnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya sejak awal tuduhan mencuat. Bukan malah membiarkan isu berkembang liar di ruang publik. Apalagi jika respons yang ditunjukkan cenderung membungkam, menghindar, atau menunda klarifikasi.
Sikap Jokowi semacam itu justru memicu polemik dan pro kontra yang berkepanjangan serta melemahkan kepercayaan publik.
Bahkan saat ini, sepertinya masyarakat telah terbelah menjadi dua kubu: yang mendukung dan yang menentang terkait isu ijazah ini.
Kondisi ini jelas merugikan, karena berpotensi menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas dan konsentrasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan agenda-agenda nasional.
Memang benar bahwa Jokowi secara hukum tidak wajib menunjukkan ijazah yang dimilikinya, kecuali atas perintah pengadilan.
Namun sebagai pejabat publik tertinggi saat itu, akan jauh lebih bijak jika ia memilih bersikap proaktif demi menyelesaikan polemik ini. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi menjaga martabat institusi kepresidenan serta ketenangan publik.
Bahkan, saya meyakini sepenuhnya bahwa jika sejak awal Jokowi berinisiatif menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka, langkah tersebut akan menjadi solusi jitu yang menyelesaikan persoalan ini dengan cepat dan elegan.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi bergeming dan sama sekali tidak mengambil langkah untuk meredakan atau menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.
Saat ini, Jokowi telah melaporkan sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan tanpa dasar ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut disampaikan Jokowi pada Rabu 30 April 2025, dengan menumpangi mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 2329 SXL.
Langkah Jokowi itu menandai babak baru dalam polemik dugaan ijazah palsu. Cara ini menandai perubahan strategi: dari menghindar, kini Jokowi memilih jalur hukum untuk melawan balik.
Tetapi publik tentu bertanya, mengapa tidak sejak awal memilih jalur transparansi terlebih dahulu?
Dalam konteks ini, langkah Presiden AS ke-44 Barack Obama layak dijadikan teladan. Saat menghadapi tuduhan bahwa ia bukan warga negara Amerika Serikat, Obama tak memilih bungkam.
Ketika kasus tersebut mencuat, Obama segera merilis salinan lengkap akta kelahirannya dari Hawaii pada 27 April 2011. Ia membuktikan bahwa ia lahir di Honolulu pada 4 Agustus 1961.
Dengan langkah terbuka itu, Obama menutup ruang spekulasi kelompok “birther” yang menyebar disinformasi bahwa ia lahir di Kenya.
Obama menganggap tuduhan itu sebagai gangguan politik, tetapi tetap memilih jalur transparansi untuk meredam keraguan.
Seharusnya Jokowi bisa meniru Obama. Menunjukkan ijazah asli secara terbuka bukan hanya merupakan pilihan yang tepat secara moral, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga legitimasi di mata rakyat dan catatan sejarah.
Tindakan semacam itu akan mencerminkan sikap kenegarawanan serta memberikan teladan berharga bagi generasi penerus tentang arti penting transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.
Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan bahwa sebuah dugaan yang awalnya tampak sepele dapat berubah menjadi bola liar yang sulit dikendalikan. Terutama ketika tidak direspons secara bijak dan terbuka sejak awal.
Semua ini terjadi karena sejak awal persoalan tidak ditangani secara bijak dan transparan, khususnya dengan tidak ditunjukkannya ijazah asli kepada publik.
Padahal, isu ini bukan sekadar soal selembar ijazah, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap integritas seorang pejabat negara.
Ketika kepercayaan itu retak, yang tercoreng bukan hanya nama seorang mantan presiden, tetapi juga wibawa institusi pendidikan, kredibilitas lembaga hukum, dan bahkan martabat republik ini sendiri.
Oleh: Sugiyanto
Penulis adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Bukan Penyelenggara Negara Lagi, Erick Thohir Tanggapi Nasib BUMN Jika Korupsi ke Depan
Jadi Tersangka Vape Obat Keras, Peran Jonathan Frizzy Tak Main-Main
Forum Purnawirawan Prajurit TNI Minta Gibran Diganti, Jokowi: Boleh-boleh Saja
Tegaskan Ijazahnya Bukan Objek Penelitian, Jokowi: Dibuktikan Lewat Proses Hukum